
Budaya Menonton yang Retak
Pada awal 1990-an, layar kaca Indonesia dibanjiri telenovela Amerika Latin. Selanjutnya, bermunculan film-film India. Maka, tangisan, teriakan dan konflik keluarga hadir setiap hari. Yang diserap bukan nilai budaya. Tetapi dramatisasi konflik yang semakin digenjot.
Tidak lama kemudian, sinetron lokal mengikuti jejaknya. Sayangnya, bukan kualitas narasi yang dikembangkan, melainkan intensitas ketegangan. Sinetron berubah menjadi arena konflik emosional yang terus diperdagangkan.
Dampak Nyata pada Keluarga dan Remaja
Mayoritas penonton sinetron adalah ibu-ibu dan remaja putri. Dua kelompok yang sangat menentukan pembentukan nilai dan suasana di rumah. Mereka adalah pengasuh, pembimbing, sekaligus sekolah pertama bagi anak-anak.
Jika setiap hari disuguhi kisah dendam, kecemburuan dan amarah, maka rumah perlahan kehilangan peran sebagai tempat menumbuhkan empati dan akhlak.
Seorang Guru dari Cilegon pernah menulis kritik mengenai sinetron bernada kemarahan yang justru merusak pemahaman anak-anak mengenai nilai agama. Seorang guru honorer dari Jawa Tengah menyoroti ironi bahwa pendidikan karakter membutuhkan waktu lama, dengan mudah dihancurkan dalam sekejap oleh tayangan televisi.
KPI, Komisi Penyiaran Indonesia, mencatat lebih dari 2.000 adegan kekerasan dalam satu tahun pada salah satu stasiun televisi nasional. Kasus siswa SD di Pekanbaru yang meniru adegan laga sinetron menunjukkan bahwa imitasi kekerasan sangat nyata terjadi.
Temuan Ilmiah tentang Sistem Limbik
Riset Nature (2025) menunjukkan bahwa paparan berulang terhadap konten penuh emosi negatif seperti marah, takut dan dendam meningkatkan reaktivitas sistem limbik, yaitu bagian otak yang mengatur emosi dasar. Menurut Joseph LeDoux, sistem ini menghasilkan ’emosi yang efisien namun destruktif’, yaitu reaksi cepat yang tidak diimbangi kemampuan refleksi matang.
George Gerbner melalui Cultivation Theory menegaskan bahwa televisi bukan hanya mencerminkan realitas, tetapi menanamkan persepsi tentang dunia. Ketika sinetron penuh konflik, penonton mulai meyakini bahwa dunia nyata juga demikian.
Harapan dan Arah Baru untuk Tayangan Indonesia
Jepang memberi contoh bagaimana drama televisi dapat menjadi sarana pendidikan nilai, mengajarkan empati, kerja keras, dan solidaritas.
Agar sinetron Indonesia bergerak ke arah yang lebih baik, diperlukan keberanian regulasi, kerja sama antara guru, psikolog dan pembuat konten. Industri jangan hanya mengejar rating, mereka harus turut membentuk karakter bangsa.
Sebagai penonton, kita perlu menyadari bahwa setiap tontonan membentuk masa depan bangsa. Apakah kita ingin menjadi bangsa yang matang secara emosi atau bangsa yang bising namun kosong secara batin.
Daftar Referensi
- Gerbner, George. (1998). Cultivation Analysis: An Overview. Mass Communication & Society.
- LeDoux, Joseph. (1996). The Emotional Brain. New York: Simon & Schuster.
- LeDoux, Joseph. (2015). Anxious: Using the Brain to Understand and Treat Fear and Anxiety. Penguin Books.
- Gilbert, S. et al. (2025). Repetitive Emotional Stimuli and Limbic System Reactivity. Nature Neuroscience.
- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). (2023). Laporan Tahunan KPI: Pelanggaran Program Televisi.
- Iwabuchi, Koichi. (2002). Recentering Globalization: Popular Culture and Japanese Transnationalism. Duke University Press.
Editing dibantu AI