
Hari-hari ini bukan hanya debat politik yang terus memanas. Perlahan tapi pasti suhu bumi pun memanas, menggerogoti sawah dan ladang kita. NASA (2024) dan NOAA (2024) mencatat suhu rata-rata global sudah naik sekitar 1,1 °C sejak era pra-industri (1850–1900).
Angka ini terlihat kecil.
Tetapi bagi pertanian tropis, setiap tambahan derajat berarti perubahan besar. Pola hujan bergeser. Musim kering memanjang. Banjir datang lebih sering.
Sebuah publikasi di Nature Food (Hultgren & Hsiang, 2025) memperingatkan bahwa setiap kenaikan suhu 1 °C dapat menurunkan produksi pangan global setara dengan 120 kilokalori per orang per hari. Ini sekitar 4,4% dari kebutuhan kalori harian menurut FAO.
Artinya, kenaikan suhu sekecil itu membuat jutaan orang kehilangan bagian penting dari pangannya. Jika pemanasan mencapai 3 °C di akhir abad ini, dunia bisa kehilangan bahan pangan setara satu kali sarapan setiap hari. Kita dipaksa berpuasa bukan karena pilihan, melainkan karena pangan memang tidak tersedia.
IPCC AR6 (2021), Intergovernmental Panel on Climate Change Sixth Assessment Report, yaitu laporan penilaian ke-6 dari badan ilmiah PBB yang merangkum bukti terbaru tentang perubahan iklim dan dampaknya serta opsi mitigasi dan adaptasi. menegaskan bahwa wilayah tropis, termasuk Indonesia, adalah yang paling rentan.
Kombinasi panas ekstrem dan curah hujan tak menentu bisa memangkas hasil panen hingga dua digit persen dalam dekade mendatang.
BMKG (2023) juga sudah mengingatkan, El Niño yang makin sering dipicu pemanasan global menyebabkan kekeringan panjang dan gagal tanam di berbagai daerah. Ancaman bagi pertanian kita datang bukan hanya dari pasar global, tetapi juga dari langit yang makin panas dan tanah yang makin kering.
Kerugian bukan sekadar soal jumlah makanan. Harga pangan melonjak, pendapatan petani tergerus, dan stabilitas sosial ikut terancam. Tanaman pangan utama kita, padi dan jagung, sangat sensitif terhadap suhu tinggi, terutama pada fase berbunga dan pengisian biji (Wassmann et al., 2009; IPCC, 2021).
Sains selalu memberi harapan.
Riset terbaru menunjukkan bahwa teknologi dan praktik budidaya baru mampu menekan kerugian hasil panen, hingga 23% pada 2050 dan 34% di akhir abad ini dalam skenario emisi moderat. Namun, artinya dua pertiga kerugian tetap tidak bisa dihindari. Adaptasi bertahap jelas belum cukup.
Harapan datang dari riset genetika. Peneliti di Huazhong Agricultural University, Tiongkok (Zhang et al., 2023), menemukan gen QT12 yang membuat padi lebih tahan panas. Ketika gen ini disisipkan ke varietas unggul Huazhan, hasil panen melonjak meski diuji di tengah gelombang panas: naik 49,1% di Wuhan, 77,9% di Hangzhou, dan 31,2% di Changsha. Lebih penting lagi, kualitas beras tetap terjaga.
Penemuan ini membuktikan bahwa satu gen bisa menjadi “saklar” penyelamat bagi jutaan orang dari ancaman krisis pangan.
Mengapa ini penting bagi Indonesia?
Kita punya plasma nutfah lokal yang kaya: padi gogo, padi rawa, hingga jagung varietas tua. Varietas-varietas ini menyimpan gen adaptif yang mungkin menjadi kunci bertahan di iklim ekstrem (IRRI, 2019; Balitbangtan, 2022). Sayangnya, riset dan pemuliaan kita sering tertinggal dari laju perubahan iklim.
Benih impor mendominasi pasar, padahal belum tentu cocok dengan panas ekstrem tropis.
Kedaulatan pangan tropis tidak boleh digadaikan kepada pasar global atau produsen benih multinasional. Kita harus membangun kekuatan sendiri: riset varietas tahan panas berbasis gen lokal, percepatan uji lapang, dan distribusi cepat ke petani.
Setiap rupiah yang diinvestasikan di sini adalah benteng yang nilainya berlipat ganda dibanding kerugian jika kita terlambat (FAO, 2021).
Kesimpulan.
Panas ekstrem bisa menjadi ancaman bagi pertanian tropis. Kita sudah punya data, bukti, dan contoh sukses dari negara lain. Kini saatnya bertindak, bukan sekadar berwacana.
Pemerintah, lembaga riset, universitas, swasta, dan petani harus duduk bersama menyusun rencana aksi, mulai dari pendanaan riset genetika, pelatihan petani, hingga penyediaan infrastruktur pendukung.
Menyelamatkan pertanian tropis bukan hanya soal menyelamatkan panen tahun depan. Ini tentang memastikan apakah anak cucu kita masih bisa makan dari hasil tanah sendiri. Jika kita menunggu lebih lama, yang hilang bukan hanya hasil panen, melainkan kendali atas masa depan pangan kita sendiri.
Menyelamatkan pertanian tropis adalah menyelamatkan kedaulatan bangsa.
Referensi
• NASA. (2024). Global Climate Change: Vital Signs of the Planet.
• NOAA. (2024). Global Climate Report.
• Hultgren, A., & Hsiang, S. (2025). Nature Food.
• IPCC. (2021). Sixth Assessment Report (AR6).
• BMKG. (2023). Laporan Dampak El Niño di Indonesia.
• Wassmann, R., Jagadish, S.V.K., et al. (2009). Climate Change and Rice Production in Asia.
• Zhang, L. et al. (2023). Huazhong Agricultural University Research on QT12 Gene.
• IRRI. (2019). Harnessing Genetic Diversity for Climate-Resilient Rice.
• Balitbangtan. (2022). Pemuliaan Padi Tahan Iklim Ekstrem.
• FAO. (2021). The State of Food Security and Nutrition in the World.