
Al-Qur’an menggambarkan atmosfer bumi dengan kalimat yang singkat tapi mendalam.
“Dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara” (QS Al-Anbiya: 32). Ayat ini memberi kita sebuah renungan, Bahwa ada “atap” tak terlihat yang melindungi bumi dari ancaman luar.
Ilmu pengetahuan modern baru menyadari betapa pentingnya lapisan atmosfer ini, terutama ozon, dalam menjaga kelangsungan hidup di bumi.
Atmosfer bukan sekadar udara yang kita hirup. Ia tersusun dalam lapisan-lapisan: troposfer, tempat kita hidup dengan cuaca sehari-hari.
Stratosfer, yang mengandung lapisan ozon sebagai perisai utama terhadap radiasi ultraviolet.
Mesosfer, di mana meteor terbakar sebelum mencapai bumi.
Termosfer, yang melindungi dari radiasi berenergi tinggi seperti sinar-X dan UV ekstrem.
Dan eksosfer, batas tipis menuju ruang angkasa (Wallace & Hobbs, Atmospheric Science: An Introductory Survey, 2006; NASA Earth Observatory, 2023).
Semua bekerja dalam harmoni seperti benteng pertahanan yang rapi, menjaga bumi tetap layak huni.
Lapisan ozon dalam stratosfer adalah salah satu contoh nyata “atap terjaga” itu. Molekul ozon menyerap sinar ultraviolet berbahaya dari matahari, khususnya UV-B yang dapat merusak DNA, menimbulkan kanker kulit, dan membunuh fitoplankton di lautan. Jika ozon runtuh, bukan hanya manusia yang terancam, tapi seluruh rantai kehidupan di bumi akan terganggu.
Bayangkan, sebuah lapisan tipis gas, yang ketebalannya bila dipadatkan hanya setara dengan beberapa milimeter, ternyata menjadi kunci kehidupan di planet ini.
Sejarah mencatat, pada dekade 1970–1980-an, dunia dikejutkan oleh penemuan lubang ozon di atas Antartika akibat penggunaan zat kimia CFC (chlorofluorocarbon) yang lazim dipakai dalam lemari es, pendingin ruangan, dan aerosol. Ilmu pengetahuan memberi alarm, dan umat manusia merespons lewat Protokol Montreal (1987).
Berkat perjanjian global itu, pemakaian CFC dibatasi dan perlahan atmosfer kembali pulih. Perjanjian global ini adalah bukti bahwa kolaborasi manusia, meski berbeda bangsa dan kepentingan, dapat memulihkan kerusakan alam dan memberi harapan bagi bumi. (Farman et al., 1985)
Kasus ini adalah bukti bahwa bumi memang “atap terjaga”, tapi penjagaannya juga menuntut kesadaran manusia.
Ayat ini sekaligus menegur kita: jika “atap” itu dijaga Sang Pencipta, mengapa kita justru merusaknya dengan kerakusan? Polusi udara, pembakaran fosil, deforestasi, semuanya memperlemah kemampuan atmosfer menjaga bumi. Krisis iklim yang kita alami hari ini adalah tanda rapuhnya kesadaran kita, bukan rapuhnya langit.
Menariknya, ulama klasik menafsirkan ayat ini bukan hanya sebagai pelindung fisik, tapi juga simbol keteraturan kosmos. Langit yang terpelihara berarti alam semesta tunduk pada hukum-hukum tetap yang menjaga keseimbangan. Kini, ilmu sains menyebutnya sebagai hukum fisika, hukum kimia, hukum biologi.
Semua hukum itu tak lain adalah “sunatullah”. Aturan Tuhan yang menegakkan semesta.
Refleksi ini membawa kita pada kesadaran lebih dalam. Bumi tidak hanya tempat tinggal, melainkan rumah dengan atap yang mesti kita jaga. Bila kita merusak ozon, mencemari udara, dan mengganggu iklim, itu sama saja dengan melubangi atap rumah kita sendiri. Rumah yang atapnya bocor tidak nyaman untuk ditinggali.
Menjaga langit berarti menjaga kehidupan. Mengurangi polusi, mengurangi ketergantungan pada energi fosil, hingga merawat hutan tropis yang menjadi paru-paru dunia. Semua tindakan kecil, dari menghemat listrik sampai memilih transportasi ramah lingkungan, adalah bentuk syukur kita pada ayat ini.
Langit yang terpelihara bukan hanya perisai pasif. Ini juga amanah yang menuntut partisipasi. Ini seperti perjanjian tak tertulis antara manusia dan alam. Tuhan menjaga dengan hukum-Nya, dan kita menjaga dengan kesadaran dan tindakan.
Jika salah satu abai, maka atap itu bisa retak.
Maka, setiap kali kita mendongak ke langit biru, mari ingat bahwa itu bukan sekadar ruang kosong. Itu adalah atap rumah besar bernama bumi, yang terjaga oleh hukum Tuhan. Tugas kita sederhana saja. Jangan lubangi atap rumah kita sendiri.
Daftar Referensi
• Farman, J. C., Gardiner, B. G., & Shanklin, J. D. (1985). Large losses of total ozone in Antarctica reveal seasonal ClOx/NOx interaction. Nature, 315(6016), 207–210.
• NASA. (2023). Ozone Hole Watch. NASA Goddard Space Flight Center. Retrieved from https://ozonewatch.gsfc.nasa.gov/
• United Nations. (1987). Montreal Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer. United Nations Environment Programme.
• Wallace, J. M., & Hobbs, P. V. (2006). Atmospheric Science: An Introductory Survey. Academic Press.
• WMO & UNEP. (2018). Scientific Assessment of Ozone Depletion: 2018. World Meteorological Organization.