Kultus Pejabat dan Kematian yang Tak Perlu (Refleksi Sosial Pasca Tragedi Garut)

Shared tulisan

Di negeri yang katanya demokratis ini, beberapa hari lalu kita menyaksikan ironi yang memilukan. Pesta pejabat lebih meriah dari pesta rakyat. Sementara duka rakyat selalu sepi dari pengakuan negara.

Tragedi di Garut, menewaskan tiga orang saat hajatan anak seorang Gubernur. Ini bukanlah sekadar kecelakaan. Peristiwa ini seolah cermin retak dari wajah bangsa yang telah lama menormalisasi ketimpangan.

Acara pesta dengan ribuan massa yang datang demi “makan gratis”, menyingkap borok sosial kita. Mayoritas rakyat masih berharap remah dari meja kekuasaan. Bukan dari keadilan yang mestinya menjadi hak mereka.

Dosen Sosiologi UGM, AB Widyanta, menyebut insiden ini menampilkan dua sisi kelam. Kesenjangan sosial yang makin ekstrem dan kultus terhadap individu pejabat. Ketika sumber daya hanya berputar di lingkaran elite, rakyat tak lagi melihat negara sebagai milik bersama. Negara menjadi panggung harapan palsu.

Di tengah itu, muncul pula sindrom mesianistik. Publik mengidolakan pejabat layaknya penyelamat. Padahal, sejarah terlalu sering membuktikan sebaliknya. Harapan yang dibangun di atas kekaguman tanpa akuntabilitas sering berakhir menjadi kekecewaan. Ketika harapan itu runtuh, bukan hanya rasa percaya yang mati, tapi juga nyawa.

Tragedi Garut ini menyingkap kemiskinan yang lebih dalam dari sekadar soal ekonomi. Wida Ayu Puspitosari dari UGM menyebutnya “kemiskinan kognitif”. Yaitu hilangnya daya nalar kritis dalam membaca risiko. Bukan semata akibat ketidaktahuan. Ini akibat dari tekanan ekonomi yang berkepanjangan. Rkspektasi irasional yang dibentuk oleh narasi media sensasional, serta disfungsi sistem berpikir dalam situasi sosial-massa.

Ketika kerumunan terbentuk, otak mematikan alarm risiko demi mengejar imajinasi rezeki yang mungkin hanya ilusi. Logika dan keselamatan dikalahkan oleh euforia kolektif. Di sinilah tragedi tak selalu muncul karena niat jahat. Ini lebih karena absennya daya kritis yang membuat manusia tak lagi sanggup membedakan harapan dengan jebakan

Adakah yang bertanggung jawab? Penyelenggara berdalih tak pernah mengumumkan soal makan gratis. Tapi bukankah di era digital, satu video atau bisik-bisik WhatsApp saja cukup untuk mengundang lautan massa?

Justru di situlah kelengahannya. Mereka tidak waspada. Seharusnya difahami bahwa dalam setiap kerumunan massa, selalu ada potensi bencana yang tersembunyi.

Dalam Naskah Sewaka Darma, ajaran leluhur sunda, pedoman etika bagi para pemimpin, tersimpan pesan mendalam: “molah sing yatna-yatna”. Jangan sampai tidak waspada. Ini bukan sekadar ajakan untuk berhati-hati, melainkan peringatan filosofis agar kewaspadaan menjadi laku dasar manusia, dan khususnya para pemimpin.

Di sisi lain, aparat baru bergerak setelah korban berjatuhan. Dalam alam demokrasi sehat, yang harus dikedepankan bukan sekadar pemberian santunan, tapi pertanggungjawaban yang sistemik. Jangan sampai nyawa dianggap selesai hanya dengan uang duka dan permintaan maaf yang dibacakan di podium.

Insiden ini seharusnya menjadi titik balik. Pejabat tak lagi berpesta di atas luka rakyat. Rakyat tak lagi memuja tanpa berpikir. Negara benar-benar hadir lewat akal sehat, bukan euforia sesaat. Sudah saatnya kita menata ulang relasi antara rakyat dan pejabat.

Bukan sebagai pengemis dan pemberi. Tapi sebagai sesama warga negara yang punya tanggung jawab setara untuk menjaga hidup, akal, dan martabat.

*Bahan diperoleh dari berbagai sumber. Penulisan dibantu AI

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top