Ketika Diam Jadi Budaya: Apa yang Kita Wariskan?

Shared tulisan

Belakangan ini saya punya hobby baru: menulis. Hanya artikel ringan. Saya kirim ke beberapa wa-grup. Awalnya deg-degan juga. Khawatir: apakah mereka mau baca? Suka? Atau malah terganggu? Kadang saya sungkan memposting, apalagi saat grup sedang hangat bercanda atau diskusi.

Lama-lama artikel itu berderet: lima, enam, tujuh, lalu sepuluh, sebelas terkirim. Kadang dapat tiga atau dua “like”. Kadang satu atau sama sekali nihil. Tapi saya lihat ” read by:”, banyak yang membaca. Saya selalu berbaik sangka: mereka membaca, hanya tak berkomentar. Tidak apa-apa.

Sampai kemudian, dalam obrolan langsung, saya dibuat terkejut. Banyak yang ternyata antusias. “Kang, saya tunggu-tunggu tulisannya,” kata mereka. Ada yang menyarankan untuk dibukukan. Bahkan ada yang hafal ritme terbitnya: “Sabtu dan Minggu libur ya, Kang?” Saya bahagia. Alhamdulillah ternyata mereka membaca. Mereka hanya diam.

Tapi mengapa diam?

Budaya diam memang bukan hal baru. Ia hadir sejak di ruang kelas di sekolah. Bahkan di ruang kuliah. Anak saya yang pernah kuliah di luar negeri pernah bilang: “Mahasiswa Indonesia cenderung diam di kelas.” Saya coba membela, “Asal mereka mengerti, dan nilainya bagus, tak masalah, kan ?” Anak saya menimpali, “Kasihan dong dosennya. Gak tahu apakah mahasiswanya bisa mengikuti dan memahami materi kuliah atau tidak?”

Saya tersadar. Budaya diam memang begitu kuat tertanam. Di ruang publik, kita menyimak, tapi jarang menyela. Di ruang kekuasaan, meski korupsi terlihat nyata didepan mata, tapi kita memilih bungkam. Dulu, katanya tiga setengah abad kita dijajah Belanda, rakyat pun sepertinya diam. Kini dijajah saudara sendiri, para oknum super serakah itu, kita juga diam.

Apakah ini sekadar kebiasaan? Ataukah ada luka yang lebih dalam?

Budaya Tunduk

Sejak kecil, kita tumbuh dengan petuah: jangan menyela orang tua, jangan membantah guru, jangan banyak tanya. Kita diajari sopan lewat diam. Maka jangan heran, di forum-forum, murid diam seribu bahasa. Dalam budaya ini, suara dianggap gangguan, bukan tanda kehidupan.

Geert Hofstede (1980) menyebut Indonesia sebagai negara dengan power distance tinggi. Masyarakat cenderung menerima kekuasaan tanpa banyak bertanya. Bertanya bisa dianggap membangkang. Berbeda bisa dianggap mengganggu. Maka diam menjadi strategi bertahan: agar tetap dianggap “baik-baik saja”.

Luka Kolektif

Tapi diam kita bukan sekadar budaya. Ia juga warisan trauma. Kita pernah terlalu lama dijajah, lalu dikekang rezim otoriter. Kita belajar bahwa bersuara itu berbahaya. Maka kita selamat dengan satu cara: diam.

Martin Seligman (1972) menyebutnya learned helplessness. Yakni ketika seseorang belajar bahwa perlawanan tak ada gunanya, maka ia berhenti mencoba. Rakyat yang merasa suaranya tak didengar, perlahan kehilangan suaranya.

Dan trauma itu diwariskan lewat laku harian. Lewat cara kita melarang anak bertanya. Lewat guru yang meredam keberanian murid berpikir berbeda. Lewat ancaman aparat kepada aktivis mahasiswa yang bersuara. Kita mewariskan diam, sebagai bentuk aman yang perlahan jadi kebiasaan.

Takut Malu, Takut Salah

Riset neurosains menunjukkan, ditolak secara sosial memicu bagian otak yang sama dengan rasa sakit fisik (Eisenberger & Lieberman, 2004). Maka, bertanya lalu disalahkan di depan umum bisa terasa menyakitkan. Dalam budaya kolektif seperti kita, rasa malu bahkan lebih ditakuti daripada kesalahan itu sendiri.

Takut Berpikir dalam Terang
Kita sering memilih diam. Bukan karena tak tahu, tapi karena terlalu tahu. Kita takut berbeda, takut disalahkan, bahkan takut jadi bahan tertawaan. Padahal banyak dari kita membaca, menyimak, bahkan menyimpan detail yang tak semua orang tahu.
Namun, kita tak bisa terus begini.

Kita tak bisa membangun bangsa di atas kebungkaman. Kita butuh generasi yang berani bertanya, ruang yang aman untuk berpikir kritis. Kita butuh pendidikan yang memberi penghargaan pada keberanian, bukan sekadar hafalan dan nilai.

Diam Tidak Lagi Emas

Hari ini diam bukan lagi emas. Diam adalah kemewahan yang hanya bisa dipelihara oleh mereka yang tak lagi peduli. Tapi kita masih peduli. Maka kita bersuara.

Menulis, bagi saya, adalah cara menyapa untuk mengajak bersuara. Alhamdulillah tulisan-tulisan itu telah menjangkau hati, walau belum memanggil suara. Mungkin belum sekarang. Tapi kita sedang menuju ke sana.

Barangkali warisan terbaik untuk anak cucu kita bukanlah tanah yang luas. Atau harta segudang. Tapi keberanian: untuk berpikir jernih, bertanya jujur, dan menyuarakan nurani.

Bisa jadi ini salah satu cara agar bangsa ini tetap hidup.

*Bahan diperoleh dari berbagai sumber. Penulisan dibantu AI

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top