Kesetaraan: Janji Merdeka yang Tak Kunjung Datang

Shared tulisan

Pendahuluan

Delapan puluh tahun sudah Indonesia merdeka. Namun, kita masih berdiri di tepi jurang yang makin lebar. Setiap bulan Agustus bendera dikibarkan di seluruh penjuru negeri. Namun di banyak rumah, dapur tetap sepi dari aroma masakan. Lagu kebangsaan dinyanyikan dengan lantang. Tetapi suara rakyat kecil masih sepi tenggelam di ruang-ruang kebijakan.

Potret Ketimpangan di Indonesia

Menurut BPS, bulan Maret 2015, Gini Ratio Indonesia turun ke 0,375. Seharusnya, ada sedikit perbaikan distribusi ekonomi. Namun, 40% rakyat terbawah hanya mengendalikan sekitar 18,7% dari pengeluaran nasional. Sedangkan sisanya masih sangat timpang di tangan segelintir orang. Perlu diingat, angka ini hanya mencerminkan ketimpangan dari sisi konsumsi. Ketimpangan pendapatan atau kekayaan kemungkinan jauh lebih besar belum tercermin di data ini.

Mayoritas pekerja kita bertahan di sektor informal. Minim jaminan Kesehatan. Tanpa tabungan pensiun dan sering kali tanpa upah layak. Mereka bekerja keras, tapi hidupnya seperti mengisi ember bocor. Ekonomi pun menumpuk di kota-kota besar. Sementara desa dan daerah tertinggal hanya jadi penonton. Jalan raya, jaringan internet, hingga peluang kerja mengalir deras ke pusat, meninggalkan tepian semakin kering.

Akar Ketimpangan

Ketimpangan ini bukan baru muncul kemarin sore. Ia berakar dalam, menembus generasi dan terus disiram oleh kebijakan yang salah arah. Pendidikan dan kesehatan masih menjadi hak istimewa di banyak daerah. Mereka yang lahir di kota besar memulai hidup seperti berlari di lintasan datar. Sementara yang lahir di pelosok harus memanjat bukit terjal sebelum garis start.

Dampak Sosial dan Psikologis

Richard Wilkinson dan Kate Pickett lewat *The Spirit Level* memukul telak keyakinan lama: bahwa pertumbuhan ekonomi otomatis membawa kesejahteraan. Faktanya, semakin timpang sebuah masyarakat, semakin sakit jiwanya.

Di negara yang timpang, orang lebih mudah curiga.  Lebih mudah tertekan dan lebih cepat marah. Bahkan yang kaya pun tak benar-benar menang. Mereka harus hidup di balik pagar tinggi dengan kamera CCTV dan rasa cemas yang kunjung hilang. Wilkinson dan Pickett menyebutnya *status anxiety*, kecemasan mempertahankan posisi. Hidup bukan lagi soal menikmati, tapi soal bertahan agar tidak jatuh. “Di masyarakat yang lebih setara, semua orang, kaya maupun miskin memiliki kehidupan yang lebih sehat, lebih aman dan lebih panjang usianya.”

Solusi Konkret untuk Menutup Jurang Ketimpangan

1. Reformasi Sistem Pajak dan Subsidi:
Terapkan pajak progresif yang lebih adil dan batasi kebocoran subsidi yang sering dinikmati kelompok berpendapatan tinggi.  Dana subsidi diarahkan ke program berbasis komunitas dan ekonomi lokal.

2. Pendidikan dan Kesehatan Inklusif:
Bangun sistem pendidikan gratis berkualitas di daerah tertinggal. Cakupan BPJS dengan pembiayaan silang dari sektor formal diperluas. Teknologi digital dapat dimanfaatkan untuk pemerataan akses pendidikan jarak jauh dan layanan kesehatan telemedis.

3. Penguatan Ekonomi Desa dan UMKM:
Investasi infrastruktur dasar di desa terus didorong. Jalan, listrik dan internet serta akses kredit murah. Pelatihan manajemen usaha bagi UMKM diperbanyak. Fokus pada rantai pasok lokal agar hasil produksi desa memiliki nilai tambah di wilayah sendiri.

4. Transparansi dan Partisipasi Publik:
Setiap kebijakan pembangunan harus dibuka untuk partisipasi masyarakat melalui forum daring dan musyawarah lokal. Transparansi anggaran dan keterlibatan publik akan mengurangi kesenjangan politik dan memperkuat rasa memiliki terhadap negara.

5. Pemerataan Infrastruktur Digital dan Transportasi:
Pemerataan akses digital dan transportasi adalah fondasi utama integrasi ekonomi nasional. Akses internet cepat dan transportasi publik terjangkau akan memperpendek jarak antara pusat dan daerah, membuka peluang kerja baru di berbagai sektor.

Penutup

Delapan puluh tahun lalu, kemerdekaan diproklamasikan dengan janji kesetaraan. Tapi hari ini janji itu masih tertahan di udara. Ketimpangan bukan takdir. Ia adalah hasil pilihan: pilihan kebijakan, pilihan arah pembangunan. Pilihan akan siapa mereka yang diajak duduk di meja dan siapa yang dibiarkan berdiri di luar. Dan karena ia hasil pilihan, maka bisa diubah.

Merdeka sejati bukan diukur dari bendera yang berkibar. Tapi dari apakah kita tumbuh bersama atau saling meninggalkan.

📚 Referensi

  1. Badan Pusat Statistik (BPS). (2025). Profil Kemiskinan dan Ketimpangan Indonesia Maret 2025. Jakarta: BPS RI.
  2. Wilkinson, R., & Pickett, K. (2009). The Spirit Level: Why More Equal Societies Almost Always Do Better. London: Allen Lane.
  3. Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2024). Laporan Kinerja dan Reformasi Fiskal 2024. Jakarta: Kemenkeu.
  4. Bank Dunia (World Bank). (2023). Indonesia Economic Prospects: Investing in Opportunity. Washington, DC: The World Bank.
  5. Oxfam Indonesia. (2023). Menuju Indonesia yang Lebih Setara: Laporan Ketimpangan 2023. Jakarta: Oxfam Indonesia.
  6. United Nations Development Programme (UNDP). (2024). Human Development Report 2024: Breaking the Cycle of Inequality. New York: UNDP.


Editing dibantu AI

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top