Ingatan yang Dicuri, Hikmah yang Terlupa

Shared tulisan

Ingatan yang Dicuri, Hikmah yang Terlupa

Kita sering terpukau oleh penemuan sains modern, dari fisika kuantum, kecerdasan buatan, sampai teori kosmologi. Namun semakin canggih penemuan itu, semakin terasa bahwa banyak di antaranya hanya mengulang apa yang telah dipercaya para leluhur. Ilmu pengetahuan seperti berjalan memutar, kembali ke bisikan yang sudah ditanam semesta sejak ribuan tahun lalu.

Dalam tradisi Nusantara, serat-serat lama menyebut “ilmu sejati”, pengetahuan yang tidak memisahkan manusia dari alam. Leluhur Jawa membaca arah angin, warna langit, dan gerak burung untuk memahami tanda-tanda kehidupan. Mereka tidak menaklukkan alam; mereka mendengarnya. Dan mungkin, di titik inilah kita mulai kehilangan sesuatu.

Ketika Peradaban Dijarah

Sejarah tidak selalu berpihak pada yang bijak. Ketika bangsa kolonial datang, mereka bukan hanya mengambil tanah, tetapi juga mengambil cara kita memahami dunia. Sejarawan Peter Carey (2007) mencatat bagaimana ratusan naskah Jawa, babad, primbon, kitab pengobatan, hingga manuskrip metafisika, disita Belanda ketika menangkap Pangeran Diponegoro, lalu dibawa ke Leiden. Ironisnya, mereka meninggalkan kitab-kitab Islam yang menurut mereka tidak terlalu strategis.

Hal serupa terjadi jauh di Amerika Latin. Bangsa Inka dan Maya menyimpan pengetahuan astronomi, irigasi, dan arsitektur presisi. Namun pada 1566, misionaris Spanyol Diego de Landa mencatat pembakaran besar-besaran ribuan codex kuno. Pengetahuan dihancurkan bersama identitas. Peradaban runtuh bersama pustakanya.

Ilmu kita dijarah, lalu dibingkai ulang dengan bahasa para penjajah. Kearifan lokal diperkecil menjadi “folklor”, sementara spiritualitas dicap “takhayul”. Dalam sekejap, kita menjadi tamu di tanah ilmu sendiri.

Kegagalan yang Kita Ikut Bangun

Namun bukan hanya penjajah yang bersalah. Kita pun lengah. Banyak elit lokal lebih sibuk menjaga simbol dan kekuasaan daripada membangun sistem pertahanan ilmu. Kita memiliki kitab, tetapi lupa menjaga tafsirnya. Kita punya warisan, tetapi tidak mewariskannya. Sedikit demi sedikit, pengetahuan yang mestinya diwariskan seperti api, berubah menjadi abu.

Dalam Why Nations Fail (Acemoglu & Robinson, 2012), bangsa yang gagal membangun institusi inklusif akan mudah dikuasai, bukan hanya secara politik tetapi juga secara intelektual. Ketimpangan pengetahuan bukan hanya akibat penjajahan, tetapi juga karena struktur internal yang malas beradaptasi.

Dan hari ini, ketimpangan itu masih terasa. Negara-negara yang dulu menjarah naskah kita kini menjadi pusat sains dan teknologi. Sementara bangsa-bangsa yang menyimpan kitab suci dan kearifan alam justru terperangkap dalam krisis pangan, pendidikan, dan identitas.

Menyambung Kembali Benang yang Hilang

Namun belum terlambat. Kita bisa menyambung kembali benang ilmu yang diputus sejarah. Membaca ulang serat-serat lama. Menghidupkan ajaran leluhur. Menerjemahkannya ke bahasa zaman. Kita tidak kekurangan hikmah; yang kita butuhkan adalah keberanian untuk kembali percaya pada akar kita sendiri.

Karena sesungguhnya, kita tidak kalah karena kita bodoh.

Kita kalah karena kita lupa.

Ilustrasi dan editing dibantu AI

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top