Globalisasi. Siapa yang Mendapat Untung?

Shared tulisan

Joseph Stiglitz bukan aktivis jalanan. Ia bukan pengamat yang suka marah-marah di televisi. Ia seorang ekonom, mantan Ketua Dewan Penasehat Ekonomi Presiden Bill Clinton, mantan Kepala Ekonom Bank Dunia, dan penerima Nobel Ekonomi tahun 2001.

Ia tahu betul bagaimana wajah ekonomi global bekerja, dari dalam. Ia tahu, karena ia pernah menjadi bagian dari dapurnya.

Tapi justru dari sana, Stiglitz bersaksi: sistem ini salah. Lebih dari itu, sistem ini menyakiti negara-negara miskin.

Dalam bukunya yang mengguncang, Globalization and Its Discontents, ia membuka borok ekonomi global, yang dikendalikan oleh lembaga-lembaga seperti IMF, World Bank, dan WTO lembaga-lembaga yang katanya “membantu,” tapi sering justru menjerumuskan.

Stiglitz menjelaskan bahwa pasar bebas yang didorong IMF bukanlah solusi netral. Di balik jargon “invisible hand”, ia melihat tangan-tangan yang sangat kelihatan: tangan para elit keuangan global yang menekan negara berkembang agar tunduk pada agenda pasar.

Lihat bagaimana IMF memaksa negara-negara miskin untuk memangkas anggaran sosial, mencabut subsidi petani, dan menjual aset negara ke pihak asing, semua atas nama efisiensi. Tapi ketika krisis melanda, yang diselamatkan justru para investor asing, bukan rakyat kecil.

Stiglitz menyebut ini sebagai “global governance without global government”. Pemerintahan dunia tanpa pemilu, tanpa partisipasi rakyat, tanpa transparansi. Semua keputusan besar tentang nasib ekonomi negara berkembang dibuat di ruang-ruang rapat tertutup, oleh teknokrat yang tak pernah hidup di desa miskin, tak pernah bertani, tak pernah tahu apa itu kelaparan.

Dan hasilnya?

Asia Tenggara porak poranda pada 1997. Argentina runtuh pada 2001. Rusia tenggelam dalam kapitalisme kroni. Sub-Sahara Afrika tetap miskin meski ratusan proyek pembangunan dijanjikan.

Tapi ada juga yang berhasil. Korea Selatan dan Malaysia memilih melawan arus. Mereka menolak resep “shock therapy” dan memilih langkah hati-hati. China bahkan tidak pernah menerima satu dolar pun dari IMF, dan kini menjadi ekonomi raksasa dunia.

Apa bedanya? Mereka mengatur sendiri nasibnya. Mereka tidak menyerahkan arah ekonomi kepada pasar global. Mereka tidak menjual semua aset atas nama efisiensi.

Stiglitz tidak anti-globalisasi. Ia hanya menolak globalisasi yang buta, yang hanya menguntungkan mereka yang sudah kaya dan kuat. Ia mengusulkan reformasi: lebih banyak demokrasi dalam tata kelola global, lebih banyak perlindungan bagi rakyat kecil, lebih banyak keberanian negara berkembang untuk berdiri di atas kaki sendiri.

Mari kita renungkan:

Berapa banyak dari kebijakan kita hari ini yang masih tunduk pada logika pasar global?

Berapa persen pangan kita bergantung pada impor karena dulu kita menandatangani perjanjian perdagangan yang timpang?

Berapa banyak petani kita bangkrut karena disuruh bersaing tanpa pelindung?

Apakah kita sungguh merdeka, jika arah ekonomi bangsa ditentukan oleh tabel-tabel Excel dari kantor IMF?
Joseph Stiglitz memberi kita pelajaran penting: bahwa demokrasi ekonomi tidak terjadi secara otomatis. Ia harus diperjuangkan. Ia tidak akan hadir lewat pasar. Ia hanya hadir jika rakyat berdaulat atas tanah, pangan, dan arah pembangunan.

Mungkin, lewat sekeping tempe dari koro lokal, lewat koperasi petani, lewat kebijakan makan siang bergizi yang memakai pangan Nusantara, kita sedang memulai perlawanan itu.

Diam-diam. Tapi pasti.

*Bahan diperoleh dari berbagai sumber. Penulisan dibantu AI

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top