Demokrasi Yang Dibelokan: Dari Oligarki ke Orde Baru hingga Politik Dinasti

Shared tulisan

Akhir-akhir ini ruang publik dipenuhi kekecewaan. Janji manis kampanye DPR tinggal kata kosong. Jalan desa tetap rusak, pupuk dan beras kian mahal, biaya pendidikan makin mencekik. Sementara itu, segelintir elit politik dan pebisnis besar justru kian kokoh merampas sumber daya negeri ini.

Akar Oligarki: Warisan Orde Baru

Kondisi seperti hari ini tidak lahir begitu saja. Kekuasaan ekonomi dan politik mulai dilekatkan erat melalui kongsi-kongsi bisnis segelintur elit di seputar kekuasaan. Apa yang disebut “Gang of Four”, Salim Group, Indocement, Bogasari, dan lainnya, adalah contoh bagaimana akses istimewa ke kredit, ke kuota impor, dan dan ke izin negara dikonsentrasikan pada segelintir kroni di masa Orde Baru. Negara mulai berubah menjadi mesin patronase.

Sistem ini meletakkan dasar oligarki modern Indonesia.

Reformasi: Demokrasi Tanpa Membongkar Struktur

Reformasi 1998 membuka jalan demokrasi elektoral. Namun, struktur oligarki tidak pernah benar-benar dihancurkan. Oligarki justru, beradaptasi. Dari konglomerasi Orde Baru lahirlah oligarki baru. Kini malah mereka dibungkus dan diperkuat oleg dinasti politik.

Keluarga elit mengisi kursi legislatif, eksekutif di daerah, hingga jabatan nasional.

Mulai dari kroni Sukarno dengan PDIP-nya, diikuti oleh SBY dengan kedua putranya di Partai Demokrat, PAN yang dibidani oleh Amin Rais, yang dikemudian hari dikuasai Zulkifli Hasan.

Mantan presiden Jokowi, dulu sempat dielu-elukan sebagai ikon rakyat kecil. Namun ternyata lebih vulgar. Tanpa rasa malu dan menafikan etika, mendongkrak menantu dan anaknya, menjadi Gubernur dan Wapres. Tak heran rakyat menjuluki Gibran sebagai anak haram konstitusi.

Fenomena ini menjadi bukti menguatnya politik dinasti.

Modus Baru: Menjarah Lewat Aturan

Politik dinasti ditandai dengansemakin brutalnay perampokan negara. Setidaknya, tiga kasus pasca-reformasi dibawah memperlihatkan cara baru merampok negara.

Pertama, kasus CSR BI dan OJK.

Dana CSR yang seharusnya dialokasikan untuk beasiswa, untuk pelatihan UMKM, dan literasi keuangan rakyat, dipaksa keluar jalur oleh anggota legislatif. Dengan menekan BI dan OJK. Dana itu malah dialihkan ke yayasan boneka yang didirikan politisi atau keluarganya. Yayasan hanya berfungsi di atas kertas.
Ada proposal, ada laporan, tetapi kegiatan fiktif. Inilah modus “legal tapi busuk” yang rapi terselubung.

Uang yang masuk kemudian dicuci menjadi aset mewah: mobil sport, properti, hingga restoran.

Fakta telanjang ditemukan KPK, 15-unit mobil mewah berjejer di garasi seorang anggota DPR, simbol paling vulgar dari uang rakyat yang dijarah dengan nama CSR.

Kedua, revisi UU KPK tahun 2019.

Eksekutif dan legislatif bersekutu melemahkan lembaga pengawas independen ini lewat revisi UU 2019. Pegawai KPK dipaksa menjadi ASN, independensi runtuh. Penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan wajib izin Dewan

Pengawas yang ditunjuk presiden, membuat OTT rawan bocor.

Penyelidikan diperlambat, kasus besar mandek. Sejak itu, KPK yang dulu ditakuti koruptor berubah jadi lembaga ompong. Bukan karena tak punya niat, tapi karena giginya dicabut dengan sengaja oleh aturan yang dibuat elit.

Ketiga, revisi UU Minerba 2020.

Di tengah pandemi, eksekutif dan legislatif meloloskan revisi UU Minerba yang penuh kejanggalan. Publik tak bisa mengawasi. Kritik diabaikan. Hasilnya: kontrak tambang raksasa otomatis diperpanjang, Mekanisme tender dihapus, dan kewenangan daerah dipangkas.

Negara kehilangan daya tawar, Rakyat kehilangan kontrol. Sementara oligarki tambang mendapat karpet merah. Inilah modus perampokan sumber daya alam dengan stempel undang-undang.

Tiga peristiwa ini membentuk benang merah: legislatif dan eksekutif bekerja sama meloloskan aturan yang menguntungkan elite. Sementara pengawasan dilemahkan. Semua legal. Semua rapi, tapi sejatinya adalah perampokan kekayaan negara.

Teori Politik: Iron Law of Oligarchy

Robert Michels, seorang sosiolog politik, pernah menulis tentang Iron Law of Oligarchy. Setiap organisasi, betapapun demokratis, pada akhirnya akan dikuasai segelintir elite. Apa yang kita alami hari ini adalah bukti nyata hukum besi itu. Demokrasi prosedural, pemilu lima tahunan, tidak otomatis menjamin demokrasi substantif.

Tanpa pengawasan ketat, oligarki akan selalu mencari jalan menguasai lembaga-lembaga demokratis.

Demokrasi yang Disimpangkan

Hari ini kita menghadapi demokrasi yang dibelokkan. Bukan lagi demokrasi yang mewakili kepentingan rakyat. Kini demokrasi dijadikan kedok untuk menyalurkan kepentingan oligarki dan dinasti politik. DPR bukan lagi legislative. Mereka Adalah mitra oligarki. KPK yang seharusnya menjadi pengawas quasi-yudikatif dipreteli. Demokrasi kehilangan jiwa.

Jalan ke Depan

Namun, demokrasi tidak boleh kita biarkan mati. Beberapa langkah penting harus segera dilakukan.

Pertama. Kembalikan lembaga pengawas independen (KPK, DKPP, pengadilan tingkat tinggi).

Kedua, reformasi sistem pendanaan politik. Biaya pemilihan jangan bergantung uang besar dari oligarki.

Ketiga. Pembatasan politik dinasti melalui regulasi yang jelas.

Keempat. Peningkatan partisipasi sipil untuk memperluas demokrasi substantif.

Penutup

Sejarah menunjukkan, oligarki tidak pernah hilang dengan sendirinya. Oligarki hanya bisa dilawan dengan kesadaran kolektif rakyat. Sejak jaman Orde Baru hingga hari ini, kita melihat pola yang sama. Elite bersekutu, rakyat disisihkan.

Tuntutan 17+8 dari rakyat yang dikumandangkan oleh BEM SI menjadi angin segar tumbuhnya keberanian generasi muda dalm menyuarakan keresahan rakyat.

Demokrasi bukan milik elite. Demokrasi milik semua warga.
Demokrasi hidup bila rakyat berani bersuara, memaksa negara kembali melayani kepentingan umum. Bukan hanya kepentingan keluarga dan oligarki.

Negara ini milik kita bersama, yang harus dijaga dari tangan rakus yang merampok melalui cara cara legal.

Daftar Referensi

  1. Wikipedia. Gang of Four (Indonesia). Kelompok Empat (Indonesia) – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
  2. Time. Jokowi’s Son Kaesang and the Rise of Political Dynasty in Indonesia. https://time.com/6317879/jokowi-son-kaesang-psi-party-indonesia-dynasty
  3. Reuters. Decade of Jokowi: Indonesia’s Democracy Icon Leaves Illiberal Legacy. https://www.reuters.com/world/asia-pacific/decade-jokowi-indonesias-democracy-icon-leaves-illiberal-legacy-critics-say-2024-10-14
  4. CNN Indonesia. KPK Geledah Direktorat di OJK terkait Kasus Dana CSR Bank Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20241220163408-12-1179551/kpk-geledah-direktorat-di-ojk-terkait-kasus-dana-csr-bank-indonesia
  5. CNBC Ind
  6. KPK Sita 15 Mobil Mewah Anggota DPR dalam Kasus CSR BI–OJK. https://www.cnbcindonesia.com/news/20250903070308-4-663782/kabar-terbaru-kasus-csr-bi-ojk-kpk-sita-15-mobil-anggota-dpr
  7. Liputan6. UU KPK Hasil Revisi Disahkan, Ini Poin-poinnya. Pimpinan KPK Tanggapi UU Hasil Revisi dengan Cara Berbeda – News Liputan6.com
  8. Wikipedia. 2019 Indonesian Protests and Riots. 2019 Indonesian protests and riots – Wikipedia
  9. Mongabay. Revisi UU Minerba: Penguatan Oligarki Tambang. UU Minerba Ketok Palu: Jaminan Korporasi, Ancaman bagi Rakyat dan Lingkungan
  10. Iron law of oligarchy | Power Dynamics & Social Hierarchy | Britannica

*Bahan diperoleh dari berbagai sumber. Penulisan dibantu AI

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top