
Kita hampir tidak pernah menyadari bahwa setiap sendok nasi yang tumpah, setiap kulit sayur yang dibuang, dan sisa masakan yang tak habis adalah bagian dari siklus kehidupan yang tak selesai.
Dapur adalah tempat dimulainya banyak hal. Dari cinta seorang ibu. Dari tangan-tangan yang menanak harapan. Dari bumbu-bumbu yang merawat kesehatan keluarga.
Namun sayang dapur juga menjadi tempat di mana banyak hal berakhir sia-sia. Makanan tersisa dan limbah yang tak termanfaatkan. Energi yang menguap tanpa kembali.
Bagaimana jika kita coba balik arahnya? Dapur jangan jadi akhir dari kehidupan. Tapi menjadi pintu kembali menuju kebun.
Inilah filosofi dasar dari circular agriculture atau pertanian melingkar. Sebuah cara pandang yang sesungguhnya tak baru.
Cara bertani ini telah lama diamalkan para leluhur Nusantara. Mereka tak membuang, tapi mengembalikan. Mereka tak mengotori, tapi menyuburkan. Di tangan mereka, dapur dan kebun adalah dua sisi dari satu napas kehidupan.
Leluhur Minangkabau berkata: “Alam takambang jadi guru”.Alam adalah guru tertinggi. Segala proses alami, termasuk daur ulang kehidupan, adalah pelajaran.
Falsafah Jawa mengingatkan: “Sak nyawiji ing alam, sak madya ing urip”. Hidup harus menyatu dengan alam dan cukup dalam kebutuhan.
Sedangkan pepatah Sunda memperingatkan: “Tong miceunan nanaon mun can tangtu moal kapake”. Jangan buang sesuatu sebelum pasti tak berguna.
Dan kini, data bicara lebih nyaring dari janji pembangunan:
Jakarta membuang sekitar 4.000 ton limbah organik dari dapur setiap hari. Bandung menyumbang 1.000 ton, Surabaya sekitar 950 ton. Hanya dari tiga kota saja, kita mengusir lebih dari 5.950 ton bahan kompos setiap hari dari kemungkinan kembali ke tanah.
Sayangnya, sebagian besar berakhir membusuk di TPA, terbakar, atau mencemari tanah dan udara. Padahal, jawaban dari krisis pangan dan lingkungan itu bisa jadi justru ada di belakang rumah kita sendiri. Di kebun kecil, di kendang ayam, di komposter sederhana, dan di kesadaran baru bahwa hidup adalah soal kembali.
Kulit sayur, sisa nasi, tulang ikan, dan ampas kelapa, semua bisa kembali ke tanah. Diolah menjadi kompos. Memberi makan pada cacing dan mikroba. Dari sanalah kebun kembali tumbuh. Sayur, rempah, dan buah kembali hadir. Lalu kembali lagi ke dapur. Lalu kembali lagi ke tanah. Sebuah putaran yang tidak putus, dan tidak rakus.
Circular agriculture bukan sekadar sistem teknis. Ia adalah laku hidup. Ia mengajarkan kita bahwa tak ada yang benar-benar “sampah” di dunia ini. Yang ada hanya energi yang belum dikembalikan ke tempatnya.
Dari dapur ke kebun, lalu kembali ke dapur.
Begitulah mestinya kita hidup: saling memberi, saling mengisi, dan saling menghidupi. Bukan mengambil tanpa henti, lalu membuang tanpa peduli.
Dalam filosofi tanah, tidak ada yang dibuang sia-sia. Semua akan kembali. Maka tugas kita bukan menciptakan yang baru, tapi mengembalikan arah. Memutar ulang putaran hidup agar tak patah di tengah jalan.
Dari dapur yang sederhana itu, kita bisa menyusun ulang masa depan. Bukan hanya untuk bumi, tapi juga untuk anak cucu kita. Agar mereka nanti masih bisa mengenal aroma tanah yang hidup. Bukan sekadar bau sampah dan limbah yang membusuk.
*Bahan diperoleh dari berbagai sumber. Penulisan dibantu AI