
Bertani Tradisional, Berdaya Global
Di tengah gempuran modernisasi dan industrialisasi pertanian, ternyata masih ada petani-petani yang memilih jalan tradisional. Bertani dengan cara lama namun dengan semangat baru. Mereka membuktikan bahwa bertani secara ramah lingkungan bukan hanya mungkin, tapi juga menguntungkan.
Di Quebec, Kanada, Jean-Martin Fortier bersama istrinya mengelola Les Jardins de la Grelinette, sebuah lahan pertanian seluas 1,5 hektar. Dengan metode pertanian biointensif, mereka berhasil menghasilkan pendapatan tahunan sekitar $140.000. Mereka menggunakan alat tangan sederhana, tanpa traktor, dan menjual hasil panen langsung ke pasar lokal dan melalui program Community Supported Agriculture (CSA).
Sementara itu, di Virginia, Amerika Serikat, Joel Salatin mengelola Polyface Farm dengan prinsip pertanian regeneratif. Ia memadukan rotasi ternak dan tanaman, tanpa menggunakan bahan kimia sintetis, dan menjual produknya langsung ke konsumen. Pendekatannya yang mengutamakan keseimbangan ekosistem menjadikannya panutan dalam pertanian berkelanjutan.
Di Uganda, Joshua Mudope, seorang mantan pedagang, kembali ke kampung halamannya untuk bertani secara berkelanjutan. Dengan pelatihan dari TechnoServe, ia menerapkan teknik pertanian ramah lingkungan, seperti penggunaan pupuk organik dan irigasi tetes, yang meningkatkan hasil panen dan kesejahteraan keluarganya.
Di Indonesia, kisah serupa datang dari Tasikmalaya, Jawa Barat. Melalui Bloom Agro, para petani kecil menerapkan metode System of Rice Intensification (SRI) untuk menanam padi organik. Dengan dukungan dari Emily Sutanto, mereka berhasil menembus pasar ekspor dan meningkatkan pendapatan tanpa bergantung pada tengkulak.
Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa pertanian tradisional yang ramah lingkungan dapat menjadi jalan menuju kemandirian dan kesejahteraan. Dengan semangat gotong royong, inovasi lokal, dan akses pasar yang adil, petani dapat menjadi pilar ketahanan pangan dan penjaga bumi.
Kementerian Pertanian, Kementerian Desa, dan lembaga CSR BUMN maupun swasta seharusnya memperbanyak proyek percontohan model pertanian seperti ini di setiap kabupaten. Ini bukan hanya untuk meningkatkan produksi, tapi juga sebagai adaptasi nyata terhadap perubahan iklim yang makin tak menentu. SRI, pertanian biointensif, dan teknik agroekologi terbukti bisa meningkatkan hasil sekaligus menjaga keseimbangan alam.
IPB, UGM, Unpad, dan universitas lokal di Sumatera, Kalimantan, dan Nusa Tenggara perlu membuka laboratorium hidup-living lab-di desa-desa. Tidak cukup hanya riset di kampus. Temani petani langsung di sawah dan ladang mereka. Rancang kurikulum yang membumi dan menyatu dengan nadi desa.
Yang kita butuhkan bukan sekadar hasil panen, tapi hasil peradaban: petani yang makmur, tanah yang lestari, dan pangan yang merdeka.


Kesaksian Indra: Tentang Bagaimana Otak Mencipta Realitas


