Bangsa yang Pecah Sebelum Dijajah

Shared tulisan

Mengapa masyarakat kita gampang tersinggung? Mengapa kita begitu cepat terbelah oleh perbedaan kecil?

Banyak yang menyalahkan kolonialisme sebagai biang keroknya. Dan memang, teori psikologi sosial menunjukkan bahwa luka akibat penjajahan tidak hilang begitu saja.

Ia menetap sebagai trauma yang diwariskan lintas generasi. Membentuk cara piker dan pola emosi, hingga cara kita bersosialisasi.

Studi neuroscience menyebut bahwa trauma kolektif akibat penjajahan, perang, dan ketimpangan sosial dapat mengubah struktur otak dalam kelompok besar.

Amygdala,bagian otak yang bertugas mendeteksi ancaman menjadi sangat sensitif. Ini menjelaskan mengapa masyarakat menjadi reaktif, cepat marah, dan sulit mempercayai satu sama lain. (van der Kolk, Bessel, The Body Keeps the Score, 2014; Cozolino, Louis, The Neuroscience of Human Relationships, 2006)

Bahkan sebelum kolonialisme datang, Nusantara menyimpan begitu banyak benih perpecahan.

Majapahit runtuh bukan karena diserang dari luar, tapi karena digerogoti dari dalam oleh intrik, perebutan kuasa, dan hilangnya kepercayaan antar elite.

Ketika Islam datang membawa semangat tauhid dan kesetaraan, para raja tidak menyambutnya sebagai kesadaran spiritual, tapi menjadikannya alat baru untuk melegitimasi kekuasaan. Islam pun tinggal simbol, bukan kekuatan pemersatu. (Ricklefs, 2007)

Kerajaan-kerajaan Islam seperti Demak, Banten, dan Mataram tidak membentuk konfederasi atau visi bersama. Justru yang muncul adalah konflik antar mereka, bahkan antar sesama muslim.

Saat Batavia jatuh ke tangan VOC, tak tampak solidaritas seperti yang ditunjukkan oleh Kekhalifahan Ottoman. VOC tidak mampu menjajah kerajaan yang bersatu. Mereka menang karena memanfaatkan kerajaan-kerajaan yang saling curiga.

Ini bukan hanya sejarah, tapi luka batin kolektif.

Menurut van der Kolk, trauma tidak hanya hidup dalam pikiran, tapi juga dalam tubuh. Sistem saraf kolektif yang terbiasa dengan pengkhianatan dan ketakutan akan membentuk pola otak yang defensif dan impulsif.

Dalam istilah neuroscience: amygdala mendominasi, sementara prefrontal cortex, bagian otak yang berfungsi untuk nalar, empati, dan visi jangka panjang, menjadi lemah (McEwen & Morrison, 2013).

Trauma ini pun diwariskan secara epigenetik. Bukan hanya lewat cerita, tapi lewat gen, cara mengasuh, dan pola pikir sehari-hari. Gabor MatΓ© menyebut bahwa masyarakat yang hidup dalam trauma cenderung mudah kecanduan. Bukan hanya narkoba, tetapi juga hiburan semu, konsumerisme, dan pelarian instan dari realitas batin.

Islam tidak gagal. Hindu-Buddha dan kepercayaan leluhur pun bukanlah penyebab. Yang absen adalah kesadaran kolektif sebagai bangsa. Kita kehilangan rasa satu tubuh, satu ruh, dan satu arah.

Para pemimpin kita hari ini pun tidak berkompetisi dalam keteladanan, tapi dalam pencitraan. Mereka sibuk membangun citra, bukan karakter.

Namun, luka bisa disembuhkan.
Daniel Siegel (The Developing Mind, 2020) menjelaskan bahwa sistem saraf bisa dipulihkan melalui relasi sosial yang aman, penuh makna, dan reflektif.

Budaya gotong royong, tafakur, dzikir kolektif, serta literasi spiritual yang membumi dapat membangkitkan kembali kesadaran kolektif. Kita tak perlu menjadi seperti China atau Jepang.

Kita hanya perlu mengingat siapa kita: bangsa Nusantara yang pernah membangun peradaban besar di atas fondasi harmoni.

Maka, mari kita mulai. Bukan dengan kemarahan, tapi dengan kesadaran. Bukan dengan nostalgia, tapi dengan keberanian menyambung kembali nadi bangsa dari dalam.

Luka sejarah bukan kutukan, tapi undangan untuk menyembuhkan. Dan penyembuhan itu tidak akan dimulai dari elite, tetapi dari kesadaran setiap warga bangsa.

Sudah cukup lama kita tercerai, saatnya menyatu kembali. Tidak untuk mengulang masa lalu, tapi untuk membangun masa depan dengan jiwa yang lebih utuh.

*Bahan diperoleh dari berbagai sumber. Penulisan dibantu AI

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top