Bahasa, Gosip, dan Kekuasaan

Shared tulisan

Tak ada alat yang lebih berbahaya sekaligus berdaya guna selain bahasa. Dengan bahasa, peradaban ditegakkan; dengan bahasa pula, ia bisa diruntuhkan. Bahasa adalah senjata paling lembut, namun paling tajam. Ia dapat menegakkan keadilan, tetapi juga menjerumuskan bangsa pada ilusi kebenaran.

Bahasa bukan sekadar alat komunikasi. Ia adalah struktur kekuasaan. Melalui bahasa, ideologi diproduksi, legitimasi dibentuk, dan dominasi dijalankan. Michel Foucault (1980) menulis bahwa di balik setiap wacana, selalu ada kekuasaan yang bekerja. Bahasa bukan cermin realitas; ia menciptakan realitas. Siapa yang menguasai bahasa, menguasai cara berpikir masyarakat.

Gosip, dalam sejarah manusia, adalah bentuk paling purba dari komunikasi sosial. Robin Dunbar (1996) menjelaskan bahwa gosip bukan sekadar obrolan remeh. Gosip Adalah mekanisme evolusi sosial yang menjaga kepercayaan dan solidaritas kelompok. Namun, di era digital, gosip berevolusi menjadi mesin kekuasaan yang jauh lebih kompleks. Ia tak lagi mengikat komunitas, melainkan memecahnya. Ia tak lagi menjaga moralitas, melainkan memperdagangkannya.

Media sosial mengubah gosip menjadi mata uang politik baru, cepat, emosional, dan tanpa filter. Satu potongan video bisa merobohkan reputasi. Satu caption bisa memantik kemarahan nasional. Di Indonesia, gosip politik bahkan sering lebih menentukan arah kebijakan daripada pernyataan resmi. Rumor di X (Twitter), TikTok, atau WhatsApp lebih dipercaya ketimbang konferensi pers. Fenomena “buzzer politik” (Lim, 2017; Tapsell, 2020) menunjukkan bahwa wacana publik kini dibentuk bukan oleh argumen, tapi oleh algoritma dan amplifikasi emosi.

Bahasa publik kita hari ini telah dikooptasi oleh kepentingan kekuasaan. Kata “reformasi” kehilangan makna historisnya, direduksi menjadi jargon. Kata “rakyat” dijadikan perisai moral bagi para elite yang justru menjauh dari aspirasi rakyat. Politik kehilangan kedalaman, bergeser menjadi panggung citra. Oposisi lebih sibuk mencari posisi, dan demokrasi berubah menjadi ritual elektoral tanpa etika substantif.

Di sinilah bahasa beroperasi sebagai alat dominasi yang paling halus. Ia tidak menindas dengan kekerasan, tetapi dengan narasi. Ia tidak membungkam lewat senjata, melainkan lewat konsensus palsu. Setiap kata yang beredar di ruang publik , “stabilitas”, “pembangunan”, “nasionalisme”, seringkali telah direkayasa untuk menenangkan, bukan mencerdaskan. Sebagaimana diingatkan oleh George Orwell (1946) dalam Politics and the English Language, korupsi politik selalu beriringan dengan korupsi bahasa. Ketika kata-kata kehilangan makna, kebenaran pun kehilangan arah.

Carut-marut politik Indonesia hari ini memperlihatkan dengan gamblang krisis bahasa itu. Koalisi tanpa ideologi. Oposisi yang tak berani berseberangan. Dan publik yang diseret dalam pusaran gosip elektoral. Dalam situasi semacam ini, bahasa tidak lagi menjadi alat berpikir, melainkan alat menipu diri. Gosip politik menjadi candu yang membuat rakyat lebih senang menonton drama daripada menuntut perubahan.

Namun, harapan belum padam. Selama kita masih sadar bahwa bahasa bisa menipu, kita masih bisa memilih untuk tidak tertipu. Kesadaran kritis terhadap bahasa adalah bentuk perlawanan pertama terhadap hegemoni kekuasaan. Seperti dikatakan Paulo Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed, bahasa yang membebaskan adalah bahasa yang menumbuhkan kesadaran, bukan yang membius rakyat dengan janji palsu.

*Bahan diperoleh dari berbagai sumber. Penulisan dibantu AI

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top