Anarko dan Psikologi Kerumunan

Shared tulisan

Beberapa hari ini jalanan kembali diriuhkan teriakan suara rakyat. Dari depan Gedung DPR hingga simpang jalan disekitarnya, Tuntutan yang bergema bermula dari: hapus outsourcing dan hentikan PHK. Hentikan kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir orang.

Keresahan publik itu bahkan berkembang menjadi seruan lebih tegas: membubarkan DPR. Lembaga yang seharusnya mewakili rakyat kini dirasa makin jauh dari Amanah yang diembannya. Mereka asyik bersenang-senang di atas penderitaan rakyat yang kian berat.

Tunjangan, fasilitas, dan kemewahan hidup para anggota dewan bagaikan langit dan bumi jika dibandingkan dengan kesusahan rakyat yang antre beras murah atau kehilangan pekerjaan.

Kontras inilah yang melahirkan rasa muak. Rakyat merasa DPR bukan lagi rumah mereka. DPR menjadi menara gading yang hanya berpihak pada segelintir elite.

Rakyat turun ke jalan karena merasa dikhianati para penyelenggara negara. Trias politika yang mestinya saling mengawasi kini berubah jadi persekongkolan. Kekayaan dan kemakmuran negeri seakan hanya diciptakan untuk segelintir elite, termasuk para anggota dewan terhormat yang seharusnya berdiri di pihak rakyat.

Sayangnya, ekspresi menunjukan keresahan itu sering dibungkam dengan cara menempelkan stigma, Anarko.

Kata “anarko” berasal dari bahasa Yunani an-arkhos yang berarti “tanpa penguasa.” Dalam teori politik, ia berkembang menjadi anarkisme, yakni paham yang menolak otoritas menindas dan menekankan kebebasan serta solidaritas sosial (Bakunin, 1873; Kropotkin, 1902).

Namun, dalam wacana populer di Indonesia, istilah anarko kerap dipelintir menjadi label menakut-nakuti, seolah demonstran identik dengan kekacauan. Padahal, secara akademis kerumunan justru bisa menjadi wujud solidaritas, identitas kolektif, dan aspirasi rakyat untuk keadilan (Le Bon, 1895; Reicher, 1984).

Ilmu sosial dan neuroscience modern pun menolak pandangan lama, menunjukkan bahwa kerumunan tidak selalu berarti chaos, melainkan dapat memancarkan energi kolektif yang bermakna.

Philip Zimbardo (1969) melalui teori de-individuasi menunjukkan bahwa identitas pribadi seseorang dapat larut dalam kerumunan, membuatnya merasa anonim dan sulit dimintai pertanggungjawaban.

Namun, pendekatan lebih mutakhir seperti Social Identity Theory (Tajfel & Turner, 1979) dan Social Identity Model of Crowd Behaviour (Reicher, Spears & Postmes, 1995) menekankan bahwa individu dalam kerumunan bertindak sesuai identitas kelompok dan tujuan kolektif.

Artinya, kerumunan dapat memperkuat solidaritas, rasa memiliki bersama, bahkan energi damai yang bermakna.

Bila kita merenung lebih dalam, “anarko sejati” adalah mereka yang menghancurkan keadilan.

Mereka yang justru dengan rapi di balik jas resmi memelintir undang-undang sesuai kepentingan kekuasaan. Merekalah, elit yang merampok sumber daya, mengabaikan jeritan rakyat dan membajak hukum demi kekuasaan mereka sendiri.

Ironi itu kian nyata ketika aparat menggunakan stigma anarko sebagai alasan untuk bertindak represif. Tindakan pengamanan yang gegabah seringkali melahirkan korban, terutama nyawa rakyat kecil.

Kasus tragis Affan Kurniawan, seorang tukang ojek online, menjadi bukti pahit. Ia bukan perusuh, bukan pembuat onar. Ia hanyalah rakyat biasa yang kebetulan berada di tengah situasi panas, lalu menjadi korban dari tindakan aparat yang kehilangan kendali.

Inilah wajah nyata “anarkisme” yang sesungguhnya: bukan dari rakyat yang menuntut keadilan, melainkan dari kekuasaan yang menindas tanpa perhitungan.

Melihat kondisi bangsa saat ini, kata “anarko” mestinya diarahkan pada kekacauan terselubung semacam itu.

Ketika tatanan hukum dipreteli demi kelangsungan kuasa, rakyat yang menuntut hak bukanlah biang kerusuhan. Mereka adalah orang-orang yang sedang memperjuangkan ruang demokrasi yang makin disudutkan.

Contoh nyata bisa kita lihat di berbagai daerah, termasuk aksi penolakan pajak tanah di Pati. Rakyat yang menuntut keadilan justru dicap perusuh, padahal mereka hanya mempertahankan hak dasar untuk hidup layak.

Suara keadilan adalah hak setiap warga. Menyuarakan tanpa kekerasan adalah kewajiban moral. Jangan biarkan stigma menyamarkan legitimasi tuntutan rakyat. Ketika kita marah terhadap ketidakadilan, biarkan kemarahan itu tetap teguh mempertahankan martabat perjuangan.

Kita harus mulai belajar untuk melihat dan memahami kerumunan bukan sebagai ancaman.

Kerumunan adalah cermin dari aspirasi rakyat wujud hidupnya demokrasi. Jika suara itu terus diberangus dengan stigma, maka yang benar-benar anarkis bukanlah rakyat, melainkan kekuasaan yang kehilangan Nurani.

Maka tugas kita bukan takut pada stigma, melainkan merawat suara rakyat sebagai nafas terakhir demokrasi.

*Bahan diperoleh dari berbagai sumber. Penulisan dibantu AI

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top