Al-Ghazali dan Sunyi yang Menyelamatkan

Shared tulisan

Di suatu malam, seorang ulama besar dari Persia duduk termenung di ruang kerjanya. Ia adalah Abu Hamid al-Ghazali. Di hadapannya terbentang tumpukan buku: filsafat Yunani, tafsir, logika Aristotelian, dan karya para teolog. Tapi di dalam dirinya, yang terbentang hanyalah kekosongan.

Ia telah mengajar di universitas termasyhur di Baghdad. Murid-murid menyanjungnya. Para ulama menghormatinya. Namun di tengah semua itu, hatinya kehilangan arah. Ia tahu semua dalil tentang Tuhan. Tetapi tak lagi merasa dekat dengan-Nya. Ia bisa menjelaskan kebenaran. Tapi tak lagi merasakan kebenaran itu sendiri.

Lalu, suatu hari, lidahnya terasa kelu. Tubuhnya gemetar. Ia tak mampu lagi mengajar. Para sahabatnya panik; mereka mengira penyakit jasmani menimpanya. Padahal yang sakit adalah jiwanya sendiri. Dari sanalah perjalanan sunyi Al-Ghazali dimulai. Perjalanan keluar dari gemerlap akal menuju kesunyian hati.

Di masa itu, filsafat sedang bersinar. Ibn Sina dan al-Farabi memadukan Islam dengan Aristoteles, membangun sistem logika yang memukau. Dunia berpesta dengan akal budi. Tapi Al-Ghazali mulai merasakan sesuatu yang retak: akal bisa menjelaskan segalanya, kecuali makna dari penjelasannya sendiri.

Ia menulis buku besar: Tahafut al-Falasifah, “Kerancuan Para Filsuf.” Ia menggugat keyakinan bahwa akal adalah jalan satu-satunya menuju kebenaran. Menurutnya, akal itu seperti lentera. Ia berguna untuk menerangi jalan, tapi tidak bisa menunjukkan tujuan akhir dari sebuah perjalanan.

Setelah itu, ia berhenti mengajar. Ia meninggalkan semua kemasyhuran, dan mengembara. Ia mencari sesuatu yang tak bisa dirumuskan dalam silogisme: rasa hadirnya Tuhan.

Bertahun-tahun kemudian, Al-Ghazali kembali, membawa karya agungnya: Ihya’ Ulum al-Din. “Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama.” Buku ini bukan lagi tulisan seorang logikawan, tapi catatan seorang yang telah pulang. Di sana ia menulis tentang keikhlasan, kesunyian, zikir, dan cinta. Ia berbicara tentang ilmu yang bukan sekadar di kepala, tapi juga yang menyala di dada.

Bagi Al-Ghazali, kebenaran sejati tak ditemukan di ruang debat, melainkan di ruang hati yang hening. Ia menulis, “Barang siapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.”. Dan, kita pun sesekali merasakan bisikan yang sama; bahwa semua pencarian panjang tentang Tuhan sesungguhnya berakhir di dalam diri.

Kini, kita hidup di zaman yang mirip dengan masa Al-Ghazali. Dunia kita gemerlap oleh ilmu, data, dan algoritma. Tapi di antara kilauan itu, banyak dari kita kembali merasakan sepi. Kita tahu banyak hal, tapi sering lupa maknanya. Kita percaya pada akal, tapi tak tahu untuk apa ia bekerja.

Pada akhirnya, seperti Al-Ghazali, kita hanya butuh diam sebentar: menepi dari hiruk-pikuk data, logika, dan berita. Karena kadang, kebenaran tidak datang lewat kesimpulan. Ia datang perlahan, di sela-sela napas, ketika dunia akhirnya berhenti berbicara.

*Bahan diperoleh dari berbagai sumber. Penulisan dibantu AI

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top