Achmad Chodjim: Membaca Wahyu, Menemukan Diri

Shared tulisan

Di tengah ramenya perdebatan di dunia keagamaan kita, yang masih sering sibuk pada soal halal-haram, wajib-sunnah, atau pahala-dosa, hadir seorang lelaki sederhana.

Bukan untuk menghafal lebih banyak ayat, apalagi berdebat tafsir.
Tapi untuk masuk ke dalam diri, dan menemukan Tuhan.
Bukan di atas langit, tapi di relung kesadaran terdalam.

Dialah Achmad Chodjim.
Dia penulis, pemikir, dan penggali hikmah dari teks-teks keagamaan dan kebudayaan Nusantara.

Agama yang Menumbuhkan
Bagi Achmad Chodjim, Agama bukanlah sistem kontrol sosial. Agama bukan pagar, bukan pula borgol.

Agama adalah jalan tumbuh yang membebaskan manusia dari kebodohan, ketakutan, dan keakuan.

Dalam banyak bukunya, Chodjim menulis:
“Islam bukan agama dogma. Ia adalah jalan kesadaran.”

Maka, membaca Al-Qur’an bukan sekadar menggugurkan kewajiban.
Bukan soal benar atau salah tafsir, tapi tentang apakah hati kita ikut berubah setelah membacanya.

Spirit Tasawuf, Bahasa Nusantara

Chodjim banyak menyerap inspirasi dari tasawuf Ibnu Arabi, Jalaluddin Rumi, dan Al-Hallaj.

Namun ia juga meramu ajarannya dengan kebijaksanaan leluhur Nusantara:Ki Ageng Suryomentaram, Serat Wedhatama, Serat Chentini, Sewaka Darma, Sang Hyang Siksa Kanda Ng Karesian hingga hingga pemahaman Jawa tentang manunggaling kawula gusti.

Di tangannya, istilah “Islam rahmatan lil alamin” tak lagi sekadar slogan politik, tapi menjadi ajaran yang menyentuh:
Bagaimana memelihara rahmat bagi semesta, mulai dari pikiran yang bersih, ucapan yang menyejukkan, hingga tindakan yang merawat sesama makhluk.

Mengapa Ini Penting Hari Ini?

Achmad Chodjim tidak memberi jawaban instan. Ia justru mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini kita hindari:

  • Apakah shalat kita telah membuat kita lebih lembut hati?
  • Apakah ayat-ayat yang kita baca benar-benar kita hayati?
  • Apakah kita menyembah Tuhan, atau menyembah gambaran Tuhan yang kita ciptakan sendiri?

Di dunia yang makin mekanistik, yang mengukur iman dari penampilan luar dan hafalan, Chodjim mengingatkan:
“Tuhan bukan untuk digambarkan. Tuhan untuk disadari keberadaan-Nya di dalam kesadaran kita.”

Ajaran yang Mengajak Pulang

Bagi banyak orang, Achmad Chodjim bukan sekadar penulis. Ia seperti sahabat yang menggandeng tangan kita, lalu berkata:
“Mari pulang. Bukan ke masa lalu. Tapi ke dalam jati diri.”

Ia tidak memaksa. Tidak menggurui. Ia menyalakan lentera kecil yang membuat kita ingin menempuh jalan terang itu sendiri.

Catatan Penutup

Di zaman ketika agama sering jadi alat kuasa dan simbol gengsi, suara seperti Achmad Chodjim adalah oase.

Ia mengingatkan bahwa iman sejati tidak membuat kita merasa paling benar, tetapi membuat kita makin rendah hati.

Bahwa membaca wahyu bukan soal menggali pahala, melainkan menemukan makna.

Dan bahwa Tuhan, sering kali, tidak ditemukan lewat suara keras di mimbar
tetapi dalam bisik halus hati yang bersih dan sunyi.

Karena itu, setiap kali kita membuka kitab suci, barangkali yang perlu kita tanyakan bukan “berapa ayat yang saya baca hari ini?”, melainkan “seberapa banyak hati saya berubah karenanya?”

*Bahan diperoleh dari berbagai sumber. Penulisan dibantu AI

1 thought on “Achmad Chodjim: Membaca Wahyu, Menemukan Diri”

  1. Apakah ada pengajian yang dibimbing oleh Tuan Guru Ahmad Chatib ?
    Kalau ada, apakah bisa dapat linknya ?
    Terimakasih

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top