
Kepemimpinan.
Sebuah kata yang sering kali kita dengar. Namun, jarang benar-benar kita pahami dalam makna yang paling sederhana. Dalam kontek negara, kepemimpinan sederhana adalah hadir, mendengar, dan bekerja bersama rakyat.
Dalam keramaian politik Indonesia, kini hadir sosok wajah yang berbeda. Kang Dedi Mulyadi biasa dipanggil KDM. KDM tidak sekadar gubernur yang memimpin dari balik meja. Ia hadir di kampung-kampung, mengobrol dengan pedagang kecil.
Tidak jarang ia turun tangan langsung membantu warga miskin.
Riset Litbang Kompas baru-baru ini menunjukkan fakta menarik. Tidak kurang dari 98,6 persen warganet menyukai KDM. Sekitar 98,9 persen menilai citranya baik. Dan 97,2 persen merasa puas dengan kinerjanya sebagai Gubernur Jawa Barat.
Angka yang hampir mendekati sempurna ini jarang ditemui dalam survei politik di Indonesia.
Mengapa bisa demikian?
Salah satunya karena narasi personal KDM lebih dipercaya ketimbang institusi. Data menunjukkan, hampir setengah responden menjadikan akun pribadi KDM sebagai rujukan informasi. Sementara akun resmi Pemprov Jabar hanya menjangkau 12 persen.
Fenomena ini sejalan dengan temuan Elaboration Likelihood Model (Petty & Cacioppo, 1986), yang menjelaskan bahwa pesan emosional (jalur periferal) lebih cepat diterima publik dibanding pesan birokratis yang logis namun kering.
Jika kita bandingkan, hari ini ada tiga wajah kepemimpinan di Indonesia:
- Teknokrat-birokrat. Menekankan data, regulasi, dan angka-angka pembangunan. Efisien, tetapi sering terasa jauh dari rakyat.
- Populis-karismatik. Banyak menggunakan retorika, janji besar, dan simbol massa. Dekat, tetapi rawan hampa isi.
- KDM-style. Kepemimpinan naratif dan kultural. Hadir langsung, membumikan nilai budaya daerah, dan menghadirkan politik sebagai ruang perjumpaan.
Pendekatan ini sejalan dengan teori Narrative Transportation (Green & Brock, 2000) yang menyebut bahwa publik lebih mudah terserap dalam cerita personal ketimbang laporan teknis. Bahkan riset neuropolitik menunjukkan bahwa otak manusia lebih cepat merespons pesan emosional ketimbang logis (Westen, The Political Brain, 2007).
Peluang ini datang dengan risiko.
Menurut teori Motivated reasoning (Kunda, 1990) menyatakan bahwa publik cenderung menyaring informasi sesuai keyakinannya. Dalam kasus KDM, lawan politik bisa memanfaatkan gaya KDM untuk menyerang. Mereka mudah melabelinya sebagai “pemimpin konten” semata.
Celah kecil bisa diperbesar menjadi krisis kepercayaan.
Karena itu, substansi kebijakan harus berjalan beriringan dengan narasi.
Tantangan terbesarnya adalah bagaimana mengubah popularitas menjadi sistem kebijakan publik yang kuat dan berkelanjutan.
Jawa Barat tidak hanya butuh konten inspiratif, tetapi juga perbaikan serius dalam pendidikan, kesehatan, lingkungan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Seperti kata Francis Fukuyama dalam Trust (1995), sebuah masyarakat hanya bisa maju jika kepemimpinan personal dilanjutkan dengan sistem kelembagaan yang dipercaya.
Apa artinya bagi masa depan bangsa?
Jika gaya kepemimpinan KDM berhasil dijaga konsistensinya, Jawa Barat bisa menjadi laboratorium politik baru di Indonesia. Tempat di mana budaya, spiritualitas, dan teknologi digital berpadu untuk membentuk kepemimpinan yang otentik.
Bila berhasil, model ini bisa menjadi inspirasi nasional, bahwa pemimpin bukan hanya pejabat, melainkan sahabat rakyat.
Hari ini kita diajak merenung: apakah mungkin politik Indonesia bergerak ke arah yang lebih manusiawi, lebih membumi, dan lebih jujur?
Jika iya, maka Jawa Barat dengan KDM di garis depan berpeluang besar membuka jalan. Tetapi ingat, jalan panjang ini hanya bisa ditempuh bila popularitas dijaga dengan konsistensi, dan narasi ditopang dengan kebijakan nyata.
Bangsa ini, pada akhirnya, tidak hanya membutuhkan pemimpin yang viral. Kita membutuhkan pemimpin yang benar-benar membangun.
*Bahan diperoleh dari berbagai sumber. Penulisan dibantu AI