
Kadang tubuh terasa berat. Enggan bangun pagi. Tangan tak ingin menyentuh apa pun. Kaki pun enggan melangkah, seolah diikat rantai. Tapi saat dipaksa sedikit bergerak sekadar mandi, atau jalan ke warung depan rumah, malah terasa lebih ringan.
Mungkin itu bukan lelah. Tapi… malas.
Di waktu lain, tubuh benar-benar remuk. Tidur tujuh jam pun terasa tak cukup. Dipaksa bangkit, rasanya mustahil. Bukan karena kurang niat. Tubuh seolah berbisik:
“Aku tak punya tenaga lagi.”
Itulah lelah.
Membedakan antara malas dan lelah adalah seni paling jujur dalam mendengarkan tubuh. Malas datang diam-diam. Ia tak membebani otot, tapi mengaburkan niat.
Menutup cahaya motivasi. Bukan karena tubuh tak sanggup, tapi karena jiwa enggan memulai.
Psikologi menyebut ini sebagai kegagalan sistem regulasi emosi. Bukan kemalasan sejati, melainkan sistem motivasi yang sedang meredup (Sirois & Pychyl, 2013). Dalam otak, kadar dopamin yang rendah membuat keputusan untuk “melakukan sesuatu” terasa berat (Salamone et al., 2007).
Lelah lain lagi. Ia adalah alarm. Bisikan tubuh:
“Cukup. Istirahatlah.”
Riset fisiologi menunjukkan: kelelahan otot dan kelelahan pikiran memberi dampak yang serupa terhadap penurunan performa meski jalur pemulihannya berbeda (Marcora, 2009).
Ketika tubuh merasa lelah, sistem saraf otonom kita mengalami peningkatan sinyal simpatis (stres) dan penurunan aktivitas parasimpatis (pemulihan). Kadar kortisol bisa naik, detak jantung sulit menurun, dan otak, terutama bagian anterior cingulate cortex dan prefrontal cortex, kehilangan kejernihan untuk mengambil keputusan dan mempertahankan fokus (van der Linden et al., 2003; Boksem & Tops, 2008). Tubuh tak hanya butuh tidur. Ia butuh waktu untuk “mereset” seluruh sistem energi.
Seorang teman pernah berkata,
“Saya kira saya cuma males untuk jogging pagi ini. Tapi ternyata saya lelah. Lelah karena pikiran. Karena khawatir. Karena seminggu penuh saya terlalu kuat.”
Ya, kita sering terlalu kuat. Terlalu ingin menyelesaikan semuanya. Sampai tubuh tak punya cara lain untuk protes, selain melalui rasa yang kita sebut “malas”.
Padahal, mungkin tubuh cuma ingin didengar.
Jadi, jangan buru-buru menuduh diri sendiri pemalas. Bisa jadi, kita justru terlalu rajin. Terlalu tangguh. Ingatlah: istirahat pun bagian dari perjuangan.
Mari belajar mendengar tubuh.
Jika lelah, rebahkan. Jika cuma males, gerakkan sedikit.
Satu langkah kecil bisa cukup untuk menghidupkan kembali nyala hidup yang nyaris padam. Seperti yang dikatakan para ahli: kadang hanya butuh satu dorongan kecil untuk menyalakan ulang sirkuit motivasi kita (Enoka & Duchateau, 2016).
Dan jika kamu ragu, lelah atau malas, cobalah berdiri.
Lihat apa kata tubuh setelah itu.
Karena tubuh yang jujur tak pernah berbohong.
Hanya saja, kadang kita terlalu bising untuk bisa mendengarnya.
*Bahan diperoleh dari berbagai sumber. Penulisan dibantu AI